Sabtu, 03 Oktober 2009

Begitulah, aku masih tetap bertahan. Tinggal di kamar ini. Menunggumu. Hampir satu musim berlalu, tak bergeming. Enggan aku untuk enyah dari rindu ini. Di kamar ini aku temukan duniaku. Dunia yang setiap arah mata anginnya adalah dinding. Ada almari kecil di satu sisinya. Tempat aku simpan kenangan-kenangan itu. Bajuku, bajumu... sebagian masih tersisa bau tubuhmu, bajumu memang sengaja tidak aku cuci. Di samping almari ada televisi. Tapi sudah lama aku biarkan ia bungkam. Mungkin sejak dua bulan yang lalu. Aku sengaja lari dari kata-kata. Bukan hanya enggan berkata-kata, namun juga malas mendengar kata-kata. Kalau memang benar batasan kemanusiaan diukur dari kemampuannya berbicara, maka sudah dua bulan yang lalu aku pensiun dari jabatan “manusia”.

Ya, mungkin dua bulan yang lalu, aku pergi ke warung sebelah, memborong mie instan, kue-kue, dan sedikit beras –tentu dari uang belanja yang engkau tinggalkan-. Dan sejak hari itu, aku kunci pintu rumah kita. Aku tutup gorden jendela, lalu mengunci diri di kamar ini. Televisi aku matikan. Aku berhenti berkata-kata, juga berhenti mendengar kata-kata. Bahkan untuk membaca kata-kata pun aku enggan. Buku-bukumu yang berderet rapi di rak itu, aku masukan ke dalam kardus bekas mie instan yang aku borong kemaren. Koran-koran bekas aku buang. Bahkan kalender yang beruliskan kantor tempatmu bekerja, yang kau tempel di dinding ruang tamu itu, aku simpan di laci meja kerjamu. Aku hanya di sini. Menunggumu, sembari melepas satu-satu atribut kemanusiaanku.

Sebagian besar waktuku adalah diam. Menikmati ruang suwung dalam diriku. Kadang aku juga takut untuk melamun, bukankah di saat melamun aku akan berbincang dengan diriku? Aku memang benci perbincangan, karena di dalamnya ada kata-kata. Jangan-jangan saat aku berbincang dengan diriku sendiri aku akan kembali menjadi “manusia”.

gung liwang li wung....
aku sendiri; nglangut

kesepian yang akut,
warna jadi tak bermakna... hanya gelap yang suwung

gung liwang li wung,
rongga dada ini jadi suwung...

rongga dalam sebongkah tulang ini kosong
nir jiwa, nir rasa....
sepi!